Saya menerapkan strategi dengan manajemen stres
Begitu menjabat Chief Executive Officer (CEO) PT Angkasa Pura II, Tri Sunoko langsung menghadapi masalah: matinya listrik dan radar di Bandara Soekarno-Hatta. Insiden ini mengundang kontroversi di kalangan masyarakat. Publik pun menyalahkan Angkasa Pura II. Kepada jurnalis KONTAN Yudo Widiyanto, Kamis (16/9) lalu, Tri memaparkan strateginya mengelola bandara hingga rencana membangun bandara kelas dunia.Dulu, sebagai Direktur Angkutan Udara di Kementerian Perhubungan, saya banyak melontarkan kritik kepada Angkasa Pura II. Semua hal, mulai dari masalah kotoran di toilet, delay pesawat, hingga pelayanan, saya kritik. Ini karena kementerian saya hanya membuat kebijakan (policy) dan pengawasan. Salah satu yang saya bidik adalah pengelolaan bandara oleh Angkasa Pura II.
Tapi, sekarang, saya ada di posisi sebaliknya. Saya merasakan langsung apa yang dikeluhkan masyarakat dan pengguna jasa. Jadi, dulu saya pengkritik, sekarang saya banyak menuai kritik.
Ini yang saya alami ketika lampu bandara dan radar mati di Bandara Soekarno-Hatta beberapa yang waktu lalu. Ketika itu, rentang waktu bandara mati lampu hanya terjadi dalam kurun waktu dua detik saja. Tapi, sorotan mata dunia langsung tertuju kepada kami.
Saya tidak mau membela diri. Namun, masalah di semua sektor transportasi sebenarnya lebih kompleks. Lalu, mengapa kami yang menjadi sorotan? Ini karena sektor transportasi memang sensitif, khususnya bandara.
Terus terang, kejadian itu membuat saya stres. Baru menjabat sebagai direktur utama sudah langsung ada insiden ini. Berbeda dengan sebelumnya saat di kementerian, saya bisa bernapas tenang. Sekarang, baru melek dari tempat tidur, saya sudah dag-dig-dug dan langsung berdoa: semoga tidak terjadi apa-apa di bandara.
Setiap hari, adrenalin saya sekarang meningkat tajam dan waswas; tantangan apalagi yang ada di bandara? Tapi, saya tidak mau banyak mengeluh. Semua masalah ini adalah risiko amanah jabatan saya.
Berkaca dari masalah ini, saya memilih menerapkan strategi dengan manajemen stres. Saya tidak ingin, akibat kejadian ini, kerja semua menjadi berantakan.
Bayangkan, saya banyak dimarahi orang-orang, tapi, ketika itu, saya tidak ikut-ikutan menekan anak buah saya. Saya memilih bersedia menjadi bumper dan menghadapi kemarahan orang-orang.
Membutuhkan waktu
Risikonya, akhirnya, saya menjadi korban. Namun, saya lebih suka dengan model kepemimpinan yang seperti ini. Saya merasa menjalankan amanah dengan total. Lebih baik membiarkan teman-teman di Angkasa Pura bekerja secara optimal. Dengan hasil optimal, feed back yang kami peroleh kelak akan lebih bagus.
Bagi saya, ini lebih baik ketimbang saya menekan anak buah. Hasil kerja mereka justru akan lebih jelek. Jadi, lebih baik meng-"orang"-kan mereka agar output kerja mereka tetap baik.
Kejadian mati listrik dan radar justru membuat kami harus berbenah diri, bukan malah berlari dari persoalan. Kita harus berbuat sesuatu yang radikal dan signifikan. Masalah bandara, biar listrik hanya mati dua detik, getarannya sampai masyarakat internasional. Ini menunjukkan betapa penting dan signifikan jasa bandara di mata internasional.
Dari banyak masalah di 12 bandara yang kami kelola, Bandara Soekarno-Hatta salah satunya. Salah satu yang urgen adalah soal kapasitas atau daya tampungnya. Dari terminal satu sampai empat, total kapasitas bandara kita itu bisa menampung 22 juta penumpang per tahun. Sekarang, lalulintas bandara makin tinggi dan total penumpang melonjak menjadi 32 juta orang per tahun.
Ini belum memperhitungkan pertumbuhan penumpang Soekarno-Hatta setiap tahun yang mencapai sekitar 10%. Lima tahun mendatang, jumlah penumpang bisa mencapai 50 juta orang. Bayangkan kalau rumah yang seharusnya cuma diisi empat orang ini diisi 10 orang. Pasti tidak nyaman.
Strategi apa yang akan kami lakukan? Sekarang, kami sedang menyusun blue print tentang apa saja yang akan dibangun dalam lima tahun mendatang. Namun, dalam jangka pendek, saya akan melakukan redistribusi kapasitas. Tidak langsung resize total. Misalnya lokasi proses checking kami pencar. Begitu juga dengan sirkulasi. Sirkulasi terminal yang sudah padat saya coba redistribusi ke terminal airlines yang tak terlalu padat. Intinya, kita geser-geser agar lengang.
Paling tidak, dengan cara ini, pelayanan menjadi lebih seimbang. Maka, dengan demikian, parkir akan lebih merata, meskipun belum 100% nyaman. Targetnya adalah sampai mulai terlihat lengang, sehingga pelayanan lebih baik dan lebih nyaman. Saya tak mau mengubah seperti face off dengan membongkar bandara seluruhnya.
Saat Lebaran kemarin, saya juga melibatkan pramuka dan belasan duta bandara yang menggunakan roller blade untuk membantu kami dalam pelayanan. Nah, rencananya, duta bandara ini akan kami gunakan terus. Namun, sebelumnya, akan kami evaluasi dulu.
Tanggung jawab disiplin masyarakat, sejatinya, bukan hanya tanggungjawab kami, tapi juga masyarakat. Terkadang, oknum masyarakat memakai toilet buat mandi. Hal-hal ini sepele tapi mengganggu kenyamanan di bandara.
Saya dan karyawan Angkasa Pura II bertekad, setiap hari dan bulan, kita harus lebih baik dari kemarin. Perbaikan kecil-kecil yang kami lakukan, kalau diakumulasi sampai satu tahun, hasilnya akan tampak. Apalagi kalau kita lakukan bertahun-tahun. Inilah yang kami lakukan.
Saya percaya, itu akan memberikan perubahan. Kita tidak mau muluk-muluk dalam membuat strategi. Mengubah mind set tentu membutuhkan waktu.
Dengan total jumlah karyawan mencapai 7.000, saya berusaha memperlakukan karyawan sebagai roda penggerak perusahan ini. Tapi, membangun budaya kerja tidak gampang. Prinsipnya, kami mempunyai komitmen, transparansi, trust, dan kebersamaan untuk mengubah mind set. Kami berkomitmen agar semua strategi perusahaan tercapai dan ada transparansi agar semua kebijakan dapat diketahui semua orang. Dengan begitu, penentuan keputusan bisa tepat sasaran.
Sebagai sebuah tim, kami juga harus menjunjung tinggi trust. Semua harus saling percaya dan menghormati. Jika itu terjadi, akan ada kebersamaan dalam menyelesaikan setiap masalah.
Hal lain yang saya lakukan adalah mengubah mind set. Dulu ada anggapan, yang namanya CEO itu adalah yang paling tinggi, setelah itu, manajemen menjadi nomor dua, lalu karyawan paling bawah. Terakhir baru pelanggan, yakni airlines.
Sekarang tidak, pelanggan menempati prioritas utama kami, kedua karyawan sebagai roda penggerak perusahaan, selanjutnya manajemen, dan CEO ada bagian terakhir. Pelanggan adalah sumber uang kami. Saya digaji dari pelanggan, begitu juga semua karyawan. Jadi, servis utama adalah untuk pelanggan.
Sebagai target jangka panjang, kami ingin menjadikan Soekarno-Hatta dan Kualanamu bandara world class sehingga setara dengan bandara regional lainnya. Makanya, kami menyiapkan triliunan rupiah untuk investasi pembangunan Bandara Kualanamu.
Kelak, Bandara Kualanamu akan kami jadikan tempat transit para maskapai dunia. Tidak seperti sekarang, mereka lebih memilih transit di Singapura atau Malaysia.
No comments:
Post a Comment