Berpromosi di masa sulit justru pilihan yang tepat
Pada tahun 1990, saya ditawari ayah saya untuk memimpin perusahaan keluarga. Padahal, awalnya, saya masih ogah-ogahan. Apalagi baru lulus kuliah. Sebagai anak muda, saya masih gengsi ikut usaha keluarga.
Saya sempat membuka usaha sendiri di bidang furnitur di Semarang, Jawa Tengah. Eh, ternyata bisnis yang saya geluti kurang berhasil. Ayah saya pun menjadi semakin keukeuh menawarkan agar saya masuk sebagai penerus usaha.
Entah dari eyang buyut, atau turunan ke berapa, keluarga kami memang penjual jamu. Pada 1967, ayah sudah punya usaha jamu lewat PT Marguna Taraluta. Produknya adalah Pilkita.
Pengembangan usaha mulai dilakukan ketika tahun 1976 sebuah perusahaan jamu asal Kalimantan berdiri. Ini adalah salah satu pesaing perusahaan kami. Sayangnya, perusahaan tersebut kemudian bangkrut dan tidak beroperasi. Pada 1989, perusahaan itu dibeli oleh ayah saya, dan diberi nama PT Deltomed Laboratories Jamu Gunung Giri. Sejak saat itu, kami mulai membenahi manajemennya. Ayah lalu menunjuk saya untuk menjadi pengelola Deltomed.
Tapi, jangan dikira saya langsung di puncak pimpinan, ya. Saya ditaruh di bagian distribusi. Tujuannya agar saya bisa mengenal seluk-beluk bisnis jamu secara mendalam. Bagian distribusi penting, karena inilah sejatinya inti bisnis apa pun: jalur distribusi yang memadai.
Bagi saya, Deltomed bisa hidup seperti sekarang juga tidak lepas dari faktor blessing in disguise alias mukjizat. Kami pernah mengalami masa sulit pada 1998. Badan terasa panas dingin saat menghadapinya. Terus terang, saya bahkan sempat merasa bingung apakah Deltomed ini diteruskan untuk hidup atau tidak.
Kala krisis keuangan itu, para pengusaha besar yang berduit tebal memilih pergi ke luar negeri. Pasar tutup, daya beli masyarakat juga menurun. Pilihan saya ketika itu cuma dua: maju atau mundur? Yang juga semakin membuat saya ragu adalah pada 1994 kami baru saja rebranding Deltomed Laboratories Jamu Gunung Giri menjadi PT Deltomed Laboratories agar berkesan modern.
Pabrik baru
Selain itu, kami juga akan meluncurkan produk baru, yakni jamu-jamu dengan bentuk pil, seperti M Kapsul dan Antangin JRG. Akhirnya, kami berdiskusi dengan pemilik dan semua direksi. Saat krisis, distribusi kami sebenarnya tidak terganggu, karena jaringan kami adalah ritel modern dan tradisional. Apalagi target market produk kami adalah semua kalangan, bukan bos-bos besar yang sudah kabur. Namun, kami mentok di bagaimana cara beriklan di saat kondisi ekonomi parah saat itu.
Yang membuat blessing dan sekaligus lucu, saya ternyata dicari oleh stasiun-stasiun televisi. Mereka meminta saya beriklan dengan biaya yang murah sekali. Saya ingat kalimat mereka: “Pak Mulyo, ayo iklan. Televisi saya sudah sepi, pengusaha pada kabur. Bayar iklannya tahun depan juga enggak apa-apa.”
Agar yakin, akhirnya kami panggil Basuki untuk menjadi brand ambassador produk kami. Kami buat tagline Antangin dengan istilah: “Wes ewes-ewes, bablas angine”. Kami juga nekat investasi untuk iklan di televisi pertama kali pada 1998, yang kami anggap waktunya sangat tidak tepat.
Apa dampaknya? Saat itu kami beriklan sendirian di tengah jalan yang sepi. Beruntung, sosok Basuki yang sering muncul di televisi membuat masyarakat cepat hafal pada iklan dengan gaya dan ciri Basuki. Kala itu, belum ada jamu tradisional berbentuk tablet seperti kami; rata-rata bubuk.
Sampai akhirnya penjualan produk kami melonjak tajam. Branding produk amat sukses, orang pun lebih kenal Antangin ketimbang Deltomed.
Bahkan, pada 2002, kami beradu dengan produsen jamu-jamu besar seperti Sidomuncul, Air Mancur, Nyonya Meneer, dan lainnya. Kami bahkan mampu mengimbangi mereka. Di beberapa daerah penjualan produk kami unggul.
Bagi saya, persaingan adalah hal yang wajar. Kompetitor utama produsen jamu sekarang, salah satunya, industri farmasi yang juga sudah masuk ke produk-produk jamu.
Namun, pertumbuhan bisnis kami tetap konsisten dengan bertumbuh sebesar 20% saban tahun. Bahkan terus menunjukkan peningkatan di pangsa pasar jamu nasional. Omzet kami kira-kira Rp 700 miliar hingga Rp 1 triliun. Untuk pangsa pasar jamu dalam bentuk kapsul, Deltomed memimpin pasar.
Seiring dengan perkembangan bisnis kami, beberapa bulan lalu, kami baru saja membangun pabrik baru di Wonogiri yang berkapasitas lima kali lipat dari pabrik sebelumnya. Luas pabrik itu kira-kira seluas 10.000 meter persegi (m²).
Pabrik itu kami siapkan untuk menghadapi lonjakan permintaan beberapa tahun mendatang. Pabrik kami sebelumnya, PT Javaplan, kami gunakan khusus untuk bisnis ekspor ekstrak bubuk jamu ke luar negeri. Sedangkan pabrik baru saya pakai untuk memenuhi kebutuhan Deltomed.
Kami juga terus mengembangkan produk. Dahulu produk kami mencapai 30 buah, kini kami persempit hingga 10 buah saja. Kami fokus pada produk yang andal di pasar. Ini penting, agar kami lebih fokus. Buat apa jualan banyak-banyak produk tapi pengaruhnya kecil?
Kami kemudian fokus menggarap pasar jamu modern. Produknya tidak hanya vitamin, tapi juga obat-obatan seperti obat batuk. Produknya pun harus lebih variatif. Tahun lalu, kami meluncurkan Antangin varian moka dan mint. Tujuannya agar bisa menyasar konsumen lebih banyak lagi.
Manajemen perlahan-lahan juga kami rombak untuk mencapai cita-cita perusahaan jamu modern. Salah satu kendala perusahaan jamu seperti kami adalah masih kentalnya budaya tradisional. Contoh jenaka adalah saat memasang AC di pabrik, beberapa karyawan pada protes karena sering masuk angin. Padahal, pabriknya tertutup dan harus punya AC. Akhirnya, saya simpulkan perubahan harus perlahan-lahan, tidak boleh langsung. Kalau langsung dirombak malah kacau.
Standar SDM kami klasifikasi pula. Sebelumnya, karyawan pabrik kami ada yang lulusan SD dan SMP. Sekarang itu tidak boleh, minimal harus SMA. Saat ini, saya mempunyai 600 karyawan. Saya lebih memilih generasi muda sebagai pemimpin perusahaan.
Kepada karyawan, saya juga menanamkan budaya disiplin, kebersihan, dan kesehatan di pabrik. Disiplin ini guna menghasilkan kualitas produk yang baik pula. Terkait kesehatan, saya janjikan hadiah bagi karyawan yang berhenti merokok. Kami mau mengubah citra perusahaan menjadi lebih baik.
Benar, kejayaan Basuki sebagai maskot Antangin sudah berlalu. Saya akui sulit bisa berulang. Namun, hidup jangan terlalu serakah. Hidup tak melulu soal duit, kan? Saya percaya akan ada peluang baru tiap tahun. Banyak orang berpikir kita melakukan promosi di waktu yang tidak tepat saat itu.
Fakta produk Antangin bicara sebaliknya. Langkah promosi kami di masa sulit justru jadi tepat. Karena salah satu produk, Antangin, bisa menghidupi Deltomed hingga detik ini.
Saya sempat membuka usaha sendiri di bidang furnitur di Semarang, Jawa Tengah. Eh, ternyata bisnis yang saya geluti kurang berhasil. Ayah saya pun menjadi semakin keukeuh menawarkan agar saya masuk sebagai penerus usaha.
Entah dari eyang buyut, atau turunan ke berapa, keluarga kami memang penjual jamu. Pada 1967, ayah sudah punya usaha jamu lewat PT Marguna Taraluta. Produknya adalah Pilkita.
Pengembangan usaha mulai dilakukan ketika tahun 1976 sebuah perusahaan jamu asal Kalimantan berdiri. Ini adalah salah satu pesaing perusahaan kami. Sayangnya, perusahaan tersebut kemudian bangkrut dan tidak beroperasi. Pada 1989, perusahaan itu dibeli oleh ayah saya, dan diberi nama PT Deltomed Laboratories Jamu Gunung Giri. Sejak saat itu, kami mulai membenahi manajemennya. Ayah lalu menunjuk saya untuk menjadi pengelola Deltomed.
Tapi, jangan dikira saya langsung di puncak pimpinan, ya. Saya ditaruh di bagian distribusi. Tujuannya agar saya bisa mengenal seluk-beluk bisnis jamu secara mendalam. Bagian distribusi penting, karena inilah sejatinya inti bisnis apa pun: jalur distribusi yang memadai.
Bagi saya, Deltomed bisa hidup seperti sekarang juga tidak lepas dari faktor blessing in disguise alias mukjizat. Kami pernah mengalami masa sulit pada 1998. Badan terasa panas dingin saat menghadapinya. Terus terang, saya bahkan sempat merasa bingung apakah Deltomed ini diteruskan untuk hidup atau tidak.
Kala krisis keuangan itu, para pengusaha besar yang berduit tebal memilih pergi ke luar negeri. Pasar tutup, daya beli masyarakat juga menurun. Pilihan saya ketika itu cuma dua: maju atau mundur? Yang juga semakin membuat saya ragu adalah pada 1994 kami baru saja rebranding Deltomed Laboratories Jamu Gunung Giri menjadi PT Deltomed Laboratories agar berkesan modern.
Pabrik baru
Selain itu, kami juga akan meluncurkan produk baru, yakni jamu-jamu dengan bentuk pil, seperti M Kapsul dan Antangin JRG. Akhirnya, kami berdiskusi dengan pemilik dan semua direksi. Saat krisis, distribusi kami sebenarnya tidak terganggu, karena jaringan kami adalah ritel modern dan tradisional. Apalagi target market produk kami adalah semua kalangan, bukan bos-bos besar yang sudah kabur. Namun, kami mentok di bagaimana cara beriklan di saat kondisi ekonomi parah saat itu.
Yang membuat blessing dan sekaligus lucu, saya ternyata dicari oleh stasiun-stasiun televisi. Mereka meminta saya beriklan dengan biaya yang murah sekali. Saya ingat kalimat mereka: “Pak Mulyo, ayo iklan. Televisi saya sudah sepi, pengusaha pada kabur. Bayar iklannya tahun depan juga enggak apa-apa.”
Agar yakin, akhirnya kami panggil Basuki untuk menjadi brand ambassador produk kami. Kami buat tagline Antangin dengan istilah: “Wes ewes-ewes, bablas angine”. Kami juga nekat investasi untuk iklan di televisi pertama kali pada 1998, yang kami anggap waktunya sangat tidak tepat.
Apa dampaknya? Saat itu kami beriklan sendirian di tengah jalan yang sepi. Beruntung, sosok Basuki yang sering muncul di televisi membuat masyarakat cepat hafal pada iklan dengan gaya dan ciri Basuki. Kala itu, belum ada jamu tradisional berbentuk tablet seperti kami; rata-rata bubuk.
Sampai akhirnya penjualan produk kami melonjak tajam. Branding produk amat sukses, orang pun lebih kenal Antangin ketimbang Deltomed.
Bahkan, pada 2002, kami beradu dengan produsen jamu-jamu besar seperti Sidomuncul, Air Mancur, Nyonya Meneer, dan lainnya. Kami bahkan mampu mengimbangi mereka. Di beberapa daerah penjualan produk kami unggul.
Bagi saya, persaingan adalah hal yang wajar. Kompetitor utama produsen jamu sekarang, salah satunya, industri farmasi yang juga sudah masuk ke produk-produk jamu.
Namun, pertumbuhan bisnis kami tetap konsisten dengan bertumbuh sebesar 20% saban tahun. Bahkan terus menunjukkan peningkatan di pangsa pasar jamu nasional. Omzet kami kira-kira Rp 700 miliar hingga Rp 1 triliun. Untuk pangsa pasar jamu dalam bentuk kapsul, Deltomed memimpin pasar.
Seiring dengan perkembangan bisnis kami, beberapa bulan lalu, kami baru saja membangun pabrik baru di Wonogiri yang berkapasitas lima kali lipat dari pabrik sebelumnya. Luas pabrik itu kira-kira seluas 10.000 meter persegi (m²).
Pabrik itu kami siapkan untuk menghadapi lonjakan permintaan beberapa tahun mendatang. Pabrik kami sebelumnya, PT Javaplan, kami gunakan khusus untuk bisnis ekspor ekstrak bubuk jamu ke luar negeri. Sedangkan pabrik baru saya pakai untuk memenuhi kebutuhan Deltomed.
Kami juga terus mengembangkan produk. Dahulu produk kami mencapai 30 buah, kini kami persempit hingga 10 buah saja. Kami fokus pada produk yang andal di pasar. Ini penting, agar kami lebih fokus. Buat apa jualan banyak-banyak produk tapi pengaruhnya kecil?
Kami kemudian fokus menggarap pasar jamu modern. Produknya tidak hanya vitamin, tapi juga obat-obatan seperti obat batuk. Produknya pun harus lebih variatif. Tahun lalu, kami meluncurkan Antangin varian moka dan mint. Tujuannya agar bisa menyasar konsumen lebih banyak lagi.
Manajemen perlahan-lahan juga kami rombak untuk mencapai cita-cita perusahaan jamu modern. Salah satu kendala perusahaan jamu seperti kami adalah masih kentalnya budaya tradisional. Contoh jenaka adalah saat memasang AC di pabrik, beberapa karyawan pada protes karena sering masuk angin. Padahal, pabriknya tertutup dan harus punya AC. Akhirnya, saya simpulkan perubahan harus perlahan-lahan, tidak boleh langsung. Kalau langsung dirombak malah kacau.
Standar SDM kami klasifikasi pula. Sebelumnya, karyawan pabrik kami ada yang lulusan SD dan SMP. Sekarang itu tidak boleh, minimal harus SMA. Saat ini, saya mempunyai 600 karyawan. Saya lebih memilih generasi muda sebagai pemimpin perusahaan.
Kepada karyawan, saya juga menanamkan budaya disiplin, kebersihan, dan kesehatan di pabrik. Disiplin ini guna menghasilkan kualitas produk yang baik pula. Terkait kesehatan, saya janjikan hadiah bagi karyawan yang berhenti merokok. Kami mau mengubah citra perusahaan menjadi lebih baik.
Benar, kejayaan Basuki sebagai maskot Antangin sudah berlalu. Saya akui sulit bisa berulang. Namun, hidup jangan terlalu serakah. Hidup tak melulu soal duit, kan? Saya percaya akan ada peluang baru tiap tahun. Banyak orang berpikir kita melakukan promosi di waktu yang tidak tepat saat itu.
Fakta produk Antangin bicara sebaliknya. Langkah promosi kami di masa sulit justru jadi tepat. Karena salah satu produk, Antangin, bisa menghidupi Deltomed hingga detik ini.
Ada lowongan utk it berpengalaman pak
ReplyDelete