Saya terinspirasi budaya kerja ala Hollywood

Di industri sinetron dan perfilman nasional, nama Manoj Punjabi sudah tidak asing lagi. Perusahaan yang dipimpinnya, MD Entertainment, telah merilis seabrek film dan sinetron favorit masyarakat Indonesia. MD pun menjelma menjadi salah satu rumah produksi terbesar di Indonesia. Untuk mengetahui strategi dan rencana bisnisnya ke depan, Wartawan KONTAN Fahriyadi menemui Manoj di kantornya, Rabu (30/6) lalu
Visi saya mendirikan MD Entertainment sejak tujuh tahun lalu adalah membangun industri perfilman yang berbeda. Maksudnya, saya ingin film yang dihasilkan MD memiliki identitas sendiri. Saya tidak ingin dibilang tanggung memberikan sesuatu yang berbeda untuk televisi dan film, maka saya mendirikan perusahaan ini.
Anda bisa melihat perbedaan yang saya buat dalam beberapa film atau sinetron produksi kami. Contohnya Cinta Fitri. Apa yang ada di sinetron itu merupakan cerita yang memang terjadi di lingkungan kita.
Saya juga mencoba memberikan perbedaan ketika menggarap film Ayat-Ayat Cinta. Hasilnya, film itu menjadi terobosan baru di bidang perfilman Indonesia. Asal tahu saja, membuat film religi itu bukan pekerjaan mudah.
Bagi saya, Ayat-Ayat Cinta adalah karya terbaik yang pernah saya buat. Memang sebelum membuatnya pun saya sudah tahu film ini akan sukses. Kalau meminjam istilah dalam olahraga, Ayat-Ayat Cinta adalah homerun.
Cinta Fitri juga termasuk karya MD yang luar biasa. Sinetron ini ternyata bisa menarik apresiasi dari seorang tokoh nasional seperti BJ Habibie. Hal ini memberi saya kepuasan batin yang tidak ternilai harganya. Agar bisa menyajikan sesuatu yang baru dan berbeda itu tentu tidak gampang. Saya melakukan inovasi yang revolusioner di MD Entertainment. Sesuai dengan jati diri MD yang kreatif dan inovatif.
Kami misalnya, terus mencari dan mendapatkan talenta baru. Kami juga terus melatih dan menggali kemampuan para pendatang baru ini.
Terus terang, saya sangat senang jika melihat ada bintang baru yang sukses setelah meniti karier dari bawah. Istilahnya from zero to hero.
Seperti yang sudah saya lakukan terhadap sosok penyanyi yang saat itu sedang naik daun Cinta Laura di sinetron Cinderella. Atau terhadap bintang yang betul-betul baru, seperti Shireen Sungkar dan Teuku Wisnu di Cinta Fitri.
Saya yakin, dengan membuat terobosan seperti ini, industri perfilman kita makin kaya dan maju. Sudah saatnya kita terus menciptakan artis-artis baru. Hal ini membuat proses regenerasi akan terus berjalan.
Memang, memakai pendatang baru dalam sebuah film atau sinetron penuh risiko. Artinya, kesuksesan produk ini di pasar bakal dipertaruhkan dengan bintang yang belum begitu dikenal awam.
Namun, saya punya cara untuk mengatasi hal ini. Selain faktor keberanian, saya tidak melupakan faktor cerita yang kami kemas secara menarik supaya bisa menggaet penonton. Di sinilah salah satu nilai lebih MD Entertainment.
Produksi sebuah film bagus tidak harus berbiaya mahal. Sebaliknya, film berbiaya besar tak otomatis menghasilkan cerita apik. Menurut saya, jiwa dari sebuah film itu justru ada di gagasan ceritanya.
Sayangnya, saya melihat perkembangan industri film di Tanah Air tidak memperhatikan roh dari film itu sendiri. Banyak produsen film yang tidak lagi menjaga mutu film, sehingga terkesan asal-asalan membuat film. Ini bisa merusak industri perfilman itu sendiri. Saya menyimpulkan, industri perfilman nasional memang sedang tumbuh namun dari sisi fondasi masih belum kuat.
Sebetulnya, peluang film nasional berkembang lebih jauh lagi terbuka lebar. Belum lama ini, pemerintah sudah merevisi Daftar Negatif Investasi (DNI) untuk sektor perfilman yang memungkinkan investor asing masuk di industri perfilman di Indonesia.
Bisa jadi insan perfilman asing ini bakal membawa sumber dana besar serta teknologi film yang lebih maju. Jika ini terjadi, industri film kita bakal bersaing secara sehat.
Saya yakin, para insan perfilman nasional tidak akan tenggelam oleh pembukaan industri film bagi investor asing. Justru kita masih bisa memegang kendali. Saya sendiri tidak takut dengan kehadiran para sineas internasional nantinya. Sebab saya yakin pemerintah pasti akan mengawasi kebijakan ini dengan ketat.
Ini lantaran pasar film nasional masih belum tergarap secara luas. Bayangkan, dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 235 juta jiwa, masa film yang paling laris di negeri ini cuma ditonton oleh 4 juta jiwa. Ini jelas tidak masuk akal, tapi sekaligus menunjukkan masih besarnya potensi bisnis di industri film kita.
Kreativitas dan etos
Untuk menyelesaikan persoalan ini, sebagai pebisnis tentu tidak bisa berjalan sendiri. Kami ingin meminta bantuan pemerintah. Pertama, saya ingin pemerintah mengambil kebijakan yang membuat jumlah bioskop di Tanah Air semakin banyak.
Kedua, saya ingin pemerintah menindak tegas aksi pembajakan terhadap film-film nasional. Kalau perlu, setiap pembajak dikenakan sanksi denda yang besar, misalnya Rp 5 miliar atau lebih besar lagi karena yang rugi tidak cuma industri film tapi juga negara.
Meski hambatan ada di depan mata, MD Entertainment tidak lantas berdiam diri saja. Sebagai pemimpin, saya sudah memakai gaya kepemimpinan sense of belonging. Intinya adalah saya ingin setiap karyawan di MD Entertainment merasa bahwa MD adalah rumah mereka. Mereka harus merasa memiliki perusahaan ini.
Imbasnya, kreativitas banyak muncul di perusahaan kami. Kreativitas adalah modal utama di industri perfilman.
Saya juga menerapkan sistem kerja I want it now. Saya ingin setiap pekerjaan yang ada di MD bisa dikerjakan dengan cepat dan efektif oleh setiap karyawan di sini. Setiap ada pekerjaan jenis apa pun yang saya inginkan, para karyawan kami bisa cepat mengerjakannya.
Terus terang, gaya kepemimpinan tersebut terinspirasi dari para sineas dunia, terutama dari Hollywood, Amerika Serikat. Para sineas Hollywood kala mengerjakan film atau membuat serial televisi sangat serius dan cermat. Metode kerja seperti ini sudah mereka lakukan selama kurun waktu 80 tahun lebih. Hasilnya memang langsung terasa hingga kini.
Banyak orang bilang, Amerika terkenal membuat dua produk: senjata dan film. Mereka mampu menggali segala potensi yang terkesan biasa menjadi luar biasa. Ada salah satu tokoh film yang mengilhami saya dalam mengembangkan MD, yakni Steven Spielberg. Saya kagum atas hasil karyanya.
Saya juga tidak melupakan etos kerja yang baik. Saya selalu berpegang teguh kepada kebenaran, kejujuran, dan loyalitas. Inilah bentuk dedikasi saya. Tanpa nilai-nilai ini semuanya seolah tanpa arti.
Saya sudah menjalankan budaya kerja seperti ini sejak MD berdiri sampai sekarang. Tanpa etos kerja seperti ini, MD tidak akan seperti saat ini. Etos seperti merupakan modal untuk menggarap film yang paling laris dalam sejarah perfilman nasional, yakni Ayat-Ayat Cinta. Etos pula yang kemudian bisa membuat film Suster Ngesot bisa sukses, padahal proses pengerjaan skenario cuma memakan waktu dua hari saja.
Saya sadar, film bisa mempengaruhi orang lain. Bahkan bisa mempengaruhi gaya hidup serta citra sebuah negara. Karena film adalah senjata terampuh jika dipakai dengan benar.